Sifat-Sifat Sastra


Sifat-Sifat Sastra

membaca satra dunia


Masalah pertama yang harus kita pecahkan menyangkut pokok bahasan studi sastra. Apakah sastra itu? Apakah yang bukan sastra? Apakah sifat-sifat khas sastra? Kedengarannya sepele, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu jarang dijawab dengan tuntas.

Salah satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Edwin Greenlaw (teoretikus sastra Inggris) mendukung gagasan ini, “Segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah kita.” Untuk mendukung teori ini, bisa saja dikatakan bahwa para sejarawan terlalu terpaku pada sejarah politik, sejarah militer, sejarah ekonomi, dan mengabaiakan masalah-masalah lain, sehingga ilmuwan sastra ber hak menduduki kawasan tetangganya.

Cara lain untuk memberi definisi pada sastra adalah membatasinya pada “mahakarya”, yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini, kreteria yang dipakai adalaah segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama, dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah peniaian estetis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Demikian pula kita menggolongkan buku sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan sebagai “karya yang bernilai sastra”.

Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat, sejarah, teologi, dan moral, politik, dan ilmuwan lain dalam pembahasan. Tidak mungkin kita menyusun sejarah sastra Inggris abad ke-18 tanpa menyebut Berkeley, Hume (filsafat), Butler (tokoh agama dan ahli moral), Gibbon (sajarawan), Burke, atau Adam Smith (moral dan ekonomi).

Tampaknya istilah ”sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Memang ada sedikit kesulitan dalam menggunakan istlah ini. Tapi istilah lain, yaitu “fiksi”(fiction) dan “puisi” (poetry), terlalu sempit pengertiannya. Sedangkan istilah “sastra imajiantif” (imaginative literature) dan belles-letters(“tulisan-tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Perancis, kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra), agak kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru, istilah Inggris literature (yang berasal dari kata Latin litera) mengacu pada karya tulis atau cetak. Padahal, seharusnya kesusastraan juga meliputi sastra lisan. Dalam hal ini, istilah Jerman wortkunstatau istilah Rusia slovesnost lebih luas jangakauannya dan lebih cocok.

Cara paling mudah memecahkan masalah ini adalah memerinci penggunaan bahasa yang khas sastra. Tetapi harus disadari bahasa bukan benda mati (seperti batu), melainkan susunan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Untuk melihat penggunaan bahsasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Karena sastra—berbeda dengan seni lain—tidak memiliki mediumnya sendiri. Apalagi sastra mengenal berbagai bentuk dan selalu mengalami perubahan.

Perbedaan dengan bahasa ilmiah ini bisa dilihat dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda pada berbagai jenis sastra. Misalnya, dalam novel pola suara kurang penting dibandingkan dalam puisi lirik tertentu. Elemen-elemen ekspresif lebih sedikit terdapat dalam “novel-novel objektif”, yang menyamarkan atau meyembunyikan sikap pengarang, daripada dalam lirik yang “bernada pribadi”. Segi-segi pragmatis sangat kecil porsinya pada puisi-puisi murni, tapi memenuhi novel dan puisi satiris dan didaktis. Apa pun variasi yang kita dapatkan setelah mengamati suatu karya sastra, perbedaan penggunaan bahasa sastra dan bahasa ilmiah sudah jelas: bahasa sasrra berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa, serta menekankan kesadaran atas tanda. Bahasa sastra memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahsa ilmiah.

Bahasa sastra bukan sekadar bahasa referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha memengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai macam teknik dibuat (misalnya aliterasi dan pola suara) untuk menarik perhatian pembaca kepada kata-kata dalam karya sastra.

Dalam karya penyair yang subjektif, misalnya, kita melihat suatu “pribadi” yang lebih jelas sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi orang yang kita jumpai dalam situasi sehari-hari. ada tipe-tipe puisi tertentu yang dengan sengaja memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara kontekstual, asoiasi irasional dengan menggunakan kategori tata bahasa seperti gender dan tense. Bahasa puitis mengatur, memperkentar suber daya bahasa sehari-hari, dan kadang-kadang segaja membuat pelanggaran-pelanggarannya. Cara-cara diatas banyak yang sudah dipakai dan disusun sebelumnya pada karya sastra berbagai generasi. Pada kesusastraan tertentu yang sudah sangat maju (dan terutama zaman-zaman tertentu), si penyair hanya mengikuti konvensi yang sudah mapan: boleh dikata, bahasalah yang memberi muatan puitis pada karya penyair.

Perbedaan pragmatis antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari lebih jelas. Segala sesuatu yang mendorong kita melakukan tindakan langsung yang konkret, sukar kita terima sebagai puisi. Kalaupun kita terima, kita akan memberinya label sebagai karya retorik.

Sifat-sifat khas sastra muncul paling jelas bila dilihat dari aspek referensialnya (acuan). Marilah kita menengok genre sastra tradisional seperti lirik, epik, dan drama. Dalam ketiga jenis sastra itu, acuannya adalah dunia fiksi atau imajinasi. Pernyataan dalam sebuah novel, puisi, atau drama, tidak dapat dianggap benar secara harfiah, dan juga bukan merupakan proposisi logis. Ada perbedaan yang mendasar dan penting antara pernyataan dalam novel sejarah atau novel Balzac (sastrawan Prancis) yang tampak menyampaikan “informasi” tentang kejadian nyata, dan pernyataan sama yang muncul dalam buku sejarah dan sosiologi. Bahkan dalam lirik subjektif, “aku” penyair bersifat rekaan, yaitu “aku” dramatik. Seorang tokoh dalam novel berbeda dengan tokoh sejarah atau tokoh yang hidup. Tokoh novel muncul dari kalimat-kalimat yang mendeskripsikannya, dan dari kata-kata yang diletakkan di bibirnya oleh si pengarang. Di luar karya sastra, tokoh itu tidak mempunyai masa lalu, masa depan, dan kontinuitas hidup. Bagaimanapun besarnya perbedaan The Tempest (drama-bersajak karangan Shakespeare) dan A Doll’s House(drama realistis Hendrik Ibsen), namun keduannya sama-sama mengikuti konvensi drama.

Kalau kita memegang “fiksionalitas”, “ciptaan”, dan “imajinasi” sebagai ciri-ciri khas sastra, mungkin kita mengacu pada karya-karya Homer, Dante, Shakespeare, Balzac, Keats, dan bukan pada karya-karya Cicero, Montagne, Bossuet, atau Emerson yang lebih bersifat filosofis. Ada karya yang berada di antara kedua kutub ini, seperti karya Plato, Republic. Meskipun pada dasarnya Republic adalah karya filsafat, beberapa bagian (yang menguraikan mitos-mitos besar) ternyata rekaan.

Perbedaan sastra dan nonsastra yang sudah kita bicarakan—organisasi, ekspresi pribadi, pengolahan dan penyampaian melalui medium, tujuan yang tidak praktis, fiksionalitas—sebenarnya merupakan pengulangan dari istilah-istilah estetika yang sudah tua seperti “kesatuan dalam keragaman” (unity in variety), “kontemplasi objektif” (disinterested contemplation), “distansi estetis (aesthetic distance), “penyusunan kerangka seni (framing), “ciptaan”, “imajiansi”, dan “kreasi”. Tiap istialh mengacu pada salah satu aspek karya sastra, satu sifat khas dari kecenderungan semantis karya sastra. Tidak satu pun istilah di atas dengan sempurna merangkan sifat sastra. Tapi paling tidak, ada sebuah kesan umum yang timbul: karya satra bukan objek yang sederhana, melainkan objek yang kompleks dan rumit.


Sumber: dirangkum dari buku Teori Kesusastraan, karangan Rene Wellek dan Austin Warren.



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

silakan berkomentar dengan santun, inspiratif dan tidak mengandung SARA...mari saling menginspirasi