Kopi, Kau, dan Hal-Hal Yang Perlu Dirayakan

Kopi, Kau, dan Hal-Hal Yang Perlu Dirayakan (sebuah cerita, yang sebentar)
kedai kopi via majalah.ottencoffee.co.id
Kedai itu mulai sedikit lenggang. Cuma beberapa tamu yang tinggal. Percakapan-percakapan, sejumlah penat, juga kesedihan diempaskan ke dalam cangkir kopi itu.

Sementara aku sibuk merekam jam. Memutar waktu yang kuinginkan:

Kau bercerita, cerita yang selalu membuatku terhenyak dalam gumam. Angin malam sejurus dengan kenangan. Ketika aku tahu, manisku, akan ada yang berlalu setelah percakapan ini. Tapi aku selalu berusaha meredam. Menikmati dalam, dalam, diriku sendiri.

Setelah ini, kau akan tetap berlalu. Dan aku tetap membisu, bukan?

Demikian ramuan melankolimu, kental. Aku tetap pria yang tak tahu harus berbuat apa. Kau pergi, silakan. Kau tinggal, aku senang. Aku memang tak ingin menjanjikan apa-apa.

Dan tentu kau mulai bosan. Apa aku mesti bersandiwara?

Ah, kau tahu, aku tak bisa melakukan hal macam itu.

Baiklah, aku mengerti: aku tidak akan bersedih. Ya, tidak di saat kau berada di sisiku. Kau boleh bersandiwara. Tidak dengan mata itu. Tapi kali ini aku tak akan terlalu lama menatapmu. Aku sedang ingin menjadi pendengar.

***

Malam bernaung dengan larik-larik yang selama ini kusimpan.

Beberapa bintang berganti. Beberapa lainnya ikut menikmati hari dalam kerelaan.

“Ini sudah gelas kopi ketigamu, kau masih belum ingin pulang?” Katamu, disertai kesal.

Aku tersenyum. “Apa kau sungguh ingin berlaulu secepat itu?”

“Lantas, aku harus bagaimana lagi? Menikmati diammu, menikmati keanehanmu itu? Apa perlu terus-menerus tentangmu?” kau tambah kesal.

“Tentangku, hanya itu?” aku kembali tersenyum. “Itu bukan soal”, tambahku sembari menghabiskan kopi ketiga yang kupesan.

“Kedai ini sudah ingin tutup!”

“Biarlah sampai kita diusir, ah, malam sedang bersenandung indah” aku berseloroh, seraya menengadahkan pandang ke langit-langit.

“Bagaimana caramu berpikir tentang itu?”

“Kau terlalu mementingkan logika”

“Dan kau terlalu aneh” Kau mulai meraih ponsel dari dalam tasmu.

Keasingan seperti ini sedang ingin kurasakan. Baiklah. Aku kalah. Aku akan selalu kalah. Bukan mengalah. Aku bukan tipe orang seperti itu.

“Oh iya, tugas kuliahmu jadi kukerjakan?”

“Tak perlu, aku bisa mengerjakannya sendiri.” Kau bercakap dengan ponsel atau denganku. Aku tak mengerti. Tapi aku tahu, ada yang lebih membuatmu nyaman.

“Baiklah kita pulang saja kalau begitu”

“Aku ada janji lain, kau duluan saja”

“Boleh kuantar?”

“Tidak usah. Terima kasih”

“Baiklah, tak perlu khawatirkan hal itu, aku tak akan memintamu lebih. Ini sudah lebih dari cukup, bagiku. Terima kasih”

“Besok-besok tak perlu jemput aku. Ayah sudah memberiku tumpangan”

“Ayah?” aku tersenyum, sambil bergumam: omongkosong ini memang perlu.

“Iya, ayah”

“ Baiklah kalau begitu, aku pergi. Tak perlu juga kau bertanya-tanya ini itu. Biarkan aku terbiasa” aku pun berlalu. Dan kau masih menantikan kebahagian yang kau yakini itu.

puisi-puisi saya: 

***
Kedai ini tetap akan sama. Meskipun melankolinya kadang naik-turun. Menyesuaikan harmonisnya malam.

Seseorang perlu keheningan. Yang lain, perlu keriuhan.

Dunia memang beragam.

Dan kota ini mulai nampak seperti bunyi-bunyi, sedikit cahaya, dengan kesendiriannya yang menawan.

Sudah beberapa tahun aku tak mampir ke kedai ini. Tidak ada yang berubah. Aku ingat: kau paling suka duduk di pojok dekat pohon itu, sambil memadang langit senja. Sambil melihatku bergumam. Kadang aku bercerita tentang senja yang merindukan omongkosong.

Kemudian aku melarikan pandang ke matamu. Perihal yang tak bisa kau sanggah. Bahwa aku lebih bisa melupakan angan-angan di saat bersamamu. Bersamamu membuatku tenang.

Aku pun berlalu dari kedai itu. Menyelesaikan perayaan yang kesekian. Sambil menerka-nerka: orang macam apa yang bersedia mendengarkan ceritaku ini. Setelah kau, tak ada lagi yang memiliki empati yang setimpal.

Aku tersenyum dalam kebahagiaan. Kebahagiaan yang katamu aneh. Tapi aku tak peduli.


Oh iya, aku sudah meminta izin pemilik kedai: untuk menyimpan waktu ketika itu dan bibirmu lengkap dengan rindunya. Terima kasih.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

silakan berkomentar dengan santun, inspiratif dan tidak mengandung SARA...mari saling menginspirasi