Sejarah Sastra Indonesia dan Tokoh-tokoh pentingnya

Sejarah Sastra Indonesia dan Tokoh-tokoh pentingnya

sejarah satra indonesia

Sobat muda, alangkah baik kita mempelajari/membaca kembali sejarah Sastra Indonesia. Sebelum kita mendalami keingintahuan atau ketertarikan kita tentang Sastra Indonesia, terlebih dahulu kita mesti mengetahui bagaimana sastra Indonesia bisa terlahir.

*
“Sejarah merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya” (Kuntowijoyo: 1994)

Dalam pengatar ilmu sastra (luxemburg, 1982) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi,sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya.

Pada tahun 1942, Vodicka (pelopor Strukturalis Praha) menulis teori penulisan sejarah sastra yang mencakup tugas utama.

Pertama, analisis objektif terhadap teks sastra sehingga diperoleh efek estetik dengan mempertimbangkan kemungkinan perubahan yang terjadi melalui perbandingan berbagai karya sastra. Dengan cara itu, terbuka kesempatan untuk menunjukan arah perkembangan sastra.

Kedua, penulisan sejarah sastra bersangkutan dengan riwayat terjadinya sebuah karya dalam hubungannya dengan dunia pengarang dan realita sosial.

Ketiga, adalah penelitian resepsi karya sastra yang terbuka kemungkinan berubah karena pengaruh subjektivitas pembaca dan perubahan kebudayaan.

Berdasarkan ringkasan tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa penulisan sejarah sastra bukan masalah yang sederhana.

**

Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejal awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebudayaan sutingan Achdiat K. Mihardja (1977). Polemik yang berkembang antara tokoh-tokoh S. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M. Amir, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain.

Adapun kesadaran sejarah sastra Indonesia makin tampak pada tahun 1940-an ketika S. Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru (1946) dan H. B. Jassin menyusun antologi Gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948). Perhatian tersebut makin tampak dalam buku A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1952), Buku Bakri Siregar, Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964), Buku Ajib Rosidi Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), dan Buku Jakob Sumardjo, Lintasan Sejarah Sastra Indonesia (1992).

Harus dicatat pula pendapat Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995) dan pendapat Maman. S. Mahayana dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (2005) dan Bermain Dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia (2006).

Menurut Takdir, perkenalan masyarakat bangsa indonesia dengan bangsa Eropa selama berabad-abad telah menimbulkan perubahan besar dalam gaya hidup dan pemikiran sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah memasuki zaman modern. Sehingga lahirlah sajak-sajak atau puisi baru yang mencerminkan individualitas penyair (Alisjahbana, 1996).

Apa yang tampak di mata Takdir sejalan dengan apa yang terlihat oleh H.B Jassin ketika menyusun antologi prosa dan puisi Gema Tanah Air pada tahun 1948. Dikatannya bahwa penikmatan hasil-hasil kesusastraan bukan lagi hanya soal keindahan bahasa, tetapi perlu pula pengetahuan latar belakang kemasyarakatan dan kesejarahan.

Dari dua pendapat itu jelaslah pandangan terhadap kesusastraan Indonesia tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan kemasyarakatan. Hal itu pun tampak jelas pada buku Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru (1952).

Teeuw juga menjelaskan, penjadian bahasa Indonesia dari bahasa Melayu pada sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan “saat permandian” dan bahkan dapat disebut “pengakuan keyakinan”, jadi bukan saat kelahirannya, karena prosesnya telah berjalan pada  masa sebelumnya di tangan para tokoh pergerakan nasional dan pemuda terpelajar, seperti Muhammad Yamin, Rustam Effendi, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, daan J. E Tatengkeng. Mereka itu kemudian disebut sebagai perintis dan pembuka jalan lahirnya sastra Indonesia karena dari tangan merekalah terlahir karya sastra yang bentuk dan semangatnya sudah berbeda dari tradisi sastra Nusantara, bahkan terbentuk gerakan kebudayaan Pujangga Baru.

Sementara itu, ditegaskan oleh Bakri Siregar bahwa masa awal sastra Indonesia modern tidak bisa dipisahkan dari masalah masyarakat dan bangsa Indonesia dalam perkembangan sejarahnya dan dengan alat sastra itulah tampak kesadaran sosial dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Tokohnya yaitu: Multatuti, R.A. Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Effendi sebagai juru bicara kesadaran sosial yang melawan kolonialisme Belanda (Siregar, 1964).

***

Pendapat Ajib Rosidi dalam bagian awal Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969). Di mana perkenalan masyarat Nusantara dengan bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris pada abad ke-16 dan ke-17 telah mengubah nasib masyarakat Nusantara dari bangsa merdeka menjadi bangasa jajahan Belanda selama ratusan tahun. Baru pada awal abad ke-20 politik Belanda melunak dengan melaksanakan politik etis sebagai tebusan politik tanam paksa. Di mana mulai dibuka sekolah-sekolah untuk anak bumiputera dengan mata pelajaran mengenai tata cara kehidupan, ilmu bumi negeri Belanda, pengatahuan umum, moral, dan bahkan bahasa Belanda. Usaha tersebut menimbulkan reaksi para pemimpin nasional Indonesia yang kemudian giat memperjuangakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan nasional sehingga tercetuslah Sumpah Pemuda.

Sejak masa itu banyak tokoh, seperti Abdul Muis, Haji Agus Salim, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, Muhamad Yamin, Semaun, Soekarno, Dan Tan Malaka, yang semula terbiasa berbahasa Belanda dalam berpidato an menulis lantas beralih ke bahasa Indonesia.

Dalam Ringkasan lain Ajib Rosidi disebutkan bahwa perubahan terjadi sejalan dengan tumbuhnya pers (surat kabar) mulai pertengahan abad ke-19 yang memperkenalkan bahasa prosa yang lugas dan praktis untuk menyampaikan pristiwa kehidupan sehari-hari. ditambah dengan pengaruh bacaan sastra Eropa melalui Belanda maka mulailah orang mempergunakan bahasa prosa untuk bercerita. Gejala itu kemudian melahirkan roman-roman yang terbit sebagai cerita bersambung di koran-koran, dan baru pada tahun 1920-an terbitlah roman-roman berbahasa Melayu melalui penerbit Balai Pustaka.

Ringkasan padangan Ajib Rosidi tersebut dapat diperbandingkan dengan pendapat Jakob Sumardjo.

Dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), Jakob Sumardjo mengajak masyarakat sastra Indonesia untuk menghentikan sastra Melayu Rendah dan sastra pernakan Tionghoa yang berkembang pada akhir abad ke-19 sebagai embro sastra Indonsesia sehingga awal sastra Indonesia  tidak semata-mata pada peranan Balai Pustaka tahun 1917.

Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercatat secara kronologis sebagai berikut:
1.      Pokok dan tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A. Teeuw (1952),
2.      Sejarah Sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3.      Kesusastraan Baru Indonesia oleh Zuber Usman (1964),
4.      Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajib Rosidi (1969),
5.      Modern Indonesia Literatur I-II oleh A. Teeuw (1979),
6.      Sastra Baru Indonesia oleh A. Teeuw (1980),
7.      Sari Kesuastraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8.      Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9.      Lintasan Sejarah Sastra Indonesia I oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10.  Sejarah Sastra Indonesia Modern oleh Sawadi ,(2004)

Adapun sejumlah buku yang telah memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai berikut:

1.      Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia oleh Boen S Oemarjati (1971),
2.      Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layyun Rampan (1982),
3.      Kapan Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajib Rosidi (1985),
4.      Masalah Angkatan Dan Periodisastra Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajib Rosidi (1973),
5.      Pengadilan Puisi oleh Pamusuk Eneste (1986),
6.      Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar Junus (1974),
7.      Perkemabangan Puisi Indonesia Daan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),
8.      Perkembangan Teater Modern Dan Sastra Dunia Indonesia oleh Jakob Sumardjo (1997),
9.      Prahara Budaya oleh D.S Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),
10.  Puisi Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie Layus Rampan (1980),
11.  Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia Di Jawa Barat oleh Diana N. Muis, Dkk. (2000),
12.  Sejarah Dan Perkembangan Sastra Indonesia Di Maluku oleh T. Tomasoa Dkk. (2000).
13.  Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia Di Sumatera Utara oleh Aiyub Dkk. (2000), Dan
14.  Wajah Sastra Indonesia Di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995).

Tentu masih banyak tulisan di surat kabar, majalah, dan buku yang harus dicatat dan disimak. Dalam artikel “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra” (Damono, 2000) tercatat berbagai masalah penulisan sejarah sastra indonesia.

Dari catatan itu saja dapat dibayangkan berbagai kemungkinan penulisan sejarah sastra Indonesia. Misalnya, sejarah roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Roman ini menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena pasti disebut dalam hampir setiap buku pelajaran sastra Indonesia dengan alasan tertentu. Sampai sekarang roman ini telah dicetak ulang lebih dari dua puluh kali.


Pembahasan dilanjutkan pada postingan berikut: Memahami Periodisasi Sejarah Sasra Indonesia

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

silakan berkomentar dengan santun, inspiratif dan tidak mengandung SARA...mari saling menginspirasi